Sebelumnya, pada tahun 1970, angkatan kerja perempuan di Amerika Serikat hanya sekitar 38%. Pada tahun 2009, menurut data dari the U.S. Bureau of Labor Statistics, 59% perempuan saat ini bekerja atau secara aktif mencari pekerjaan. Dari persentase ini, perempuan yang memiliki anak di bawah 17 tahun, mencapai 66%. Dan dari jumlah tersebut, 74%nya memilih untuk bekerja secara full time dan 26% bekerja secara part time.
Menurut US Census Bureau di tahun 2018, dari seluruh perempuan yang bekerja, terdapat 32% berstatus sebagai seorang ibu. Di tahun yang sama, ⅔ dari 23,5 juta perempuan yang memiliki anak di bawah 18 tahun bekerja secara full time.
Di tahun 2019, partisipasi angkatan kerja mencapai 72% ibu bekerja dengan anak di bawah 18 tahun. Dan persentase untuk ibu tunggal bahkan mencapai 77,6%. Namun di tahun 2020, persentase perempuan bekerja dengan anak di bawah 18 tahun, turun menjadi 71,2%
Bagaimana Dengan Indonesia?
Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyatakan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas menurut survei angkatan kerja nasional (Sakernas) di tahun 2018 perempuan di perkotaan mencapai 50,09% dan laki-laki 80,39%. Dari jumlah tersebut, 66,51% d iantaranya memiliki status perempuan menikah, 4,39% status cerai hidup, dan 9,14% cerai mati.
Selain itu, Persentase Tenaga Kerja Formal Perempuan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Di tahun 2015, tenaga kerja formal* perempuan hanya 37,78% dibanding dengan laki-laki 44,89%. Angka tersebut mengalami kenaikan di tahun 2019, dengan persentase 39,19% tenaga kerja formal perempuan. Namun di tahun 2022, persentase tersebut turun kembali menjadi 35,57% tenaga kerja formal perempuan di Indonesia.
Indonesia sendiri belum memaksimalkan potensi tenaga kerja perempuan yang dimilikinya. Rendahnya tingkat partisipasi kerja perempuan di Indonesia berhubungan dengan budaya yang belum memberi kesempatan perempuan berpartisipasi penuh. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, ini akibat budaya patriarki yang masih diyakini sebagian besar masyarakat. Hal ini menyebabkan perempuan tertinggal dalam akses, partisipasi, akses dan manfaat pembangunan.
Akibat pandangan tersebut, beban perempuan lebih besar dalam kerja perawatan yang tidak bernilai ekonomi. Ekonomi perawatan atau care economy menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab utama perawatan anak, orang lansia, penyandang disabilitas, dan rumah.
Manfaat Ibu Yang Bekerja
1. Perekonomian Negara
Kajian McKinsey Global Institute menyebutkan, menaikkan partisipasi perempuan di dunia kerja sebesar 3% dapat menambah 135 miliar dollar AS atau Rp 2.065,5 triliun rupiah (nilai tukar rupiah Rp 15.300 per dollar AS) pada perekonomian Indonesia di tahun 2025. Pada tahun 2022 sendiri, besar ekonomi Indonesia adalah Rp19.588,4 triliun.
Pertumbuhan ini diperlukan bila Indonesia ingin menjadi negara kaya pada 2045. Pada tahun 2012 McKinsey membuat proyeksi, Indonesia membutuhkan tambahan tenaga kerja setengah terdidik dan terdidik 113 juta orang pada tahun 2030 agar ekonomi tumbuh 5-6 persen. Kebutuhan itu dapat terpenuhi jika lebih banyak perempuan berpendidikan SMP dan SMA ke atas memasuki sektor kerja formal.
2. Karakter Anak
Penelitian McGinn, bersama Katherine Milkman dari Wharton Business School, menjelaskan bagaimana memiliki ibu yang bekerja memberikan manfaat besar pada individu anak. Dengan responden survei mencakup 13.326 perempuan dan 18.152 laki-laki dari 24 negara maju, para peneliti mendasarkan analisis mereka pada tanggapan yang dikumpulkan dari survei tahun 2002 dan 2012.
Data menunjukan bahwa perempuan yang dibesarkan oleh ibu yang bekerja memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan perempuan yang memiliki ibu yang tinggal di rumah. Jumlah ini memiliki pengecualian untuk keluarga yang dibesarkan secara konservatif terhadap kesetaraan gender. Memiliki panutan non-tradisional di rumah akan berdampak langsung terhadap hasil.
Data tersebut juga menunjukan bahwa laki-laki memiliki kemungkinan yang sama untuk memegang jabatan supervisor, meskipun dibesarkan oleh ibu yang bekerja di luar rumah ataupun tidak. Namun perempuan yang dibesarkan oleh ibu yang bekerja lebih cenderung memilliki jabatan supervisor di tempat kerjanya.
Laki-laki yang ibunya pernah bekerja di luar rumah, cenderung berkontribusi dalam pekerjaan rumah tangga dan menghabiskan lebih banyak waktu merawat anggota keluarga. Hal ini menjadikan gagasan berbagi pekerjaan rumah adalah hal biasa yang dididik sejak kecil.
Jadi, keterlibatan ibu bekerja tidak hanya mendukung ekonomi negara, namun juga menciptakan generasi-generasi yang unggul untuk ke depannya.
3. Produktivitas
Tidak hanya itu, memiliki karyawan yang berstatus sebagai ibu, juga memiliki pengaruh kepada sebuah perusahaan. Sebuah studi yang diterbitkan sebagai makalah oleh divisi penelitian di Federal Reserve Bank of St. Louis pada bulan Januari 2015, menemukan bahwa ibu dan ayah yang memiliki dua anak atau lebih, akan lebih produktif dibandingkan mereka yang hanya memiliki satu anak atau tanpa anak.
Ibu yang memiliki setidaknya dua anak, rata-rata lebih produktif dibandingkan ibu yang hanya memiliki satu anak. Kemudian ibu secara umum, lebih produktif dibandingkan perempuan yang tidak memiliki anak.
Produktivitas ini diukur berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh para ekonom dalam kelompok responden selama karir mereka. Para peneliti mencatat bahwa dampak memiliki anak terhadap produktivitas orang tua berubah seiring berjalannya waktu. Ketika anak-anak masih kecil, orang tua mereka kurang produktif, namun seiring bertambahnya usia anak, memasuki masa remaja dan seterusnya, produktivitas orang tua mereka meningkat bahkan melampaui produktivitas teman-temannya yang mempunyai satu atau tanpa anak.
Selain itu, ibu memiliki ‘mom skills’ yang akan bermanfaat bagi dunia kerja. ‘Mom skills’ tersebut ialah empati, efisiensi, multitasking, dan banyak lainnya yang telah terlatih di rumah dan dapat sangat bermanfaat bagi pekerjaannya.
Kekhawatiran Ibu Bekerja
Saat ini lingkungan juga lebih mendukung ibu yang bekerja daripada sebelumnya. Pada tahun 1994 dan 2002, General Social Survey melakukan survei mengenai apakah perempuan boleh bekerja di luar rumah dalam keadaan tertentu. Di tahun 1994 hanya ada 10% dan di tahun 2002 ada 11% yang menyetujui bahwa perempuan yang memiliki anak kecil sebaiknya bekerja full time. Responden lebih menerima, jika perempuan bekerja secara full time bagi perempuan yang memiliki anak yang sudah sekolah.
Hal yang menjadi pertimbangan besar pada hasil survey ini adalah kekhawatiran terhadap anak yang dititipkan pada day care. Di tahun 1987, 68% dari masyarakat setuju bahwa saat itu terdapat banyak sekali anak yang dititipkan di day care. Di tahun 2003, 72% mengatakan hal yang serupa.
Hal ini diamini oleh ibu yang juga memiliki kekhawatiran yang sama. Survey Pew Research Center di tahun 2003 mengatakan 50% ibu dengan anak di bawah 5 tahun setuju bahwa ada terlalu banyak anak yang dibesarkan di day care.
Di Amerika, September 2021 mengalami kenaikan persentase jumlah pekerja yang berhenti dari pekerjaan mereka yang dikenal dengan istilah “The Great Resignation”. 4,4 juta orang Amerika secara sukarela meninggalkan pekerjaan mereka. Ibu dengan anak kecil yang bekerja menjadi salah satu yang paling besar keterlibatannya dalam gerakan tersebut. Kenapa ibu bekerja mulai meninggalkan angkatan kerja?
Membatasi “The Great Resignation” bagi para ibu
Pengusaha dapat membantu mempertahankan lebih banyak ibu yang bekerja dengan menciptakan dan memelihara budaya kerja yang mengutamakan ibu baru. Perempuan yang baru mempunyai anak cenderung akan tetap bekerja atau kembali ke lingkungan kerja yang menghargai dirinya dan peran sebagai orang tua.
Analisis Gallup menunjukkan bahwa 54% ibu bekerja yang memiliki anak kecil lebih memilih untuk tinggal di rumah, namun lebih banyak lagi yang akan tetap bekerja jika hal tersebut dapat mengakomodasi kebutuhan mereka sebagai orang tua.
Perusahaan dapat menawarkan akomodasi khusus untuk ibu bekerja, seperti area laktasi, layanan pengasuhan anak, dan program kembali bekerja secara bertahap bagi ibu yang sedang cuti.
Perusahaan harus memastikan program tersebut berlaku untuk semua ibu yang bekerja. Banyak ibu yang bekerja berada di garis depan, pekerjaan bergaji rendah di sektor ritel dan jasa, serta memiliki kebutuhan lebih besar akan jadwal fleksibel, cuti berbayar, dan layanan pendukung.
Masa Depan Bagi Ibu Bekerja
Bagaimana Ibu bekerja di masa depan? Saat ini, istilah Ibu bekerja sudah cukup common diperbincangkan. Namun nyatanya tantangan yang dialami, sebenarnya masih tidak jauh dari yang sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.
Pew Research Center menemukan bahwa, berbeda dengan ayah, Ibu yang bekerja mengatakan mereka memiliki lebih banyak tanggung jawab mengasuh anak dan kesulitan menangani tugas-tugas tersebut saat bekerja dari rumah selama pandemi. Namun ini bukanlah permasalahan baru. Ibu yang bekerja telah berjuang dengan ketidakseimbangan pekerjaan rumah tangga, jadwal kerja yang tidak fleksibel, cuti yang tidak dibayar, dan hambatan lainnya selama beberapa dekade.
Agar masa depan benar-benar berbeda dari masa lalu, pemberi kerja harus menawarkan insentif kepada ibu bekerja untuk tetap bekerja dan berkembang, tanpa mengorbankan keluarga dan karier mereka.
Tarik ulur antara karir dan pengasuhan anak bukanlah hal yang baru. Tapi adanya pandemi dapat mengubah sejarah dan kesempatan yang ada ke depannya. Saatnya membuat cara kerja baru yang memungkinkan ibu bekerja secara maksimal sesuai potensinya dan tetap menjadi seorang ibu yang mereka inginkan. Perusahaan yang berhasil menciptakan itu, akan berhasil menarik dan mempertahankan talenta terbaik mereka.
*Menurut BPS, tenaga kerja formal adalah mereka yang status pekerjaannya buruh/karyawan/pegawai dan berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar.
Source:
https://www.pewresearch.org/social-trends/2009/10/01/the-harried-life-of-the-working-mother/
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/b4bdc-profil-perempuan-indonesial-_2019.pdf
https://www.aauw.org/resources/article/fast-facts-working-moms/
https://www.hbs.edu/news/articles/Pages/mcginn-working-mom.aspx
https://www.today.com/parents/moms-2-or-more-kids-are-more-productive-work-study-1d80256648
BACA JUGA:
Comments