Article Special Kartini's Day!
Di dalam diri setiap orang terdapat area keberanian yang jarang sekali dimunculkan. Termasuk keberanian untuk mengikuti kata hati. Tidak banyak orang di dunia ini yang berani mengakui isi hatinya, melainkan terlena dengan kata orang. Tidak terkecuali saya.
Perkenalkan saya Farhanah Fitria Mustari, saya lahir sebagai anak tunggal dari keluarga yang tidak pernah kekurangan dan justru memiliki limpahan cinta yang tanpa batas waktu.
Menyadari bahwa hidup berjalan dengan baik kepada saya membuat orang tua berharap pada saya mampu menjadi pribadi yang berhasil di sektor yang mereka harapkan.
Sejak menempuh pendidikan di Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama, saya tidak pernah berhenti berprestasi dengan harapan agar orang tua bangga dengan anaknya.
Semangat berprestasi yang saya curahkan di sepanjang jenjang pendidikan tidak sejalan dengan kejujuran isi hati. Saya mungkin berdaya secara akademis dan nonakademis, namun tidak tahu hendak membawa hidup ke arah mana.
Pencapaian Memang Selalu Membuat Manusia Terlena...
termasuk saya dan kedua orang tua. Bagaimana tidak dengan menjadi siswa yang selalu mendapatkan peringkat pertama di sekolah, saya seperti memiliki harga diri yang melambung tinggi dan predikat prestisius yang dapat dibawa kemana-mana.
Akan tetapi, apakah benar hidup seperti ini yang saya dambakan? Hingga akhirnya, saya beranjak dewasa dan puncak pertanyaan tentang hidup semakin merajalela ketika tepat di semester akhir perkuliahan.
Saya semakin merasa hampa dan tidak bermakna ketika menjalani hari demi hari. Sedangkan, teman-teman sebaya saya sudah mengetahui setelah lulus kuliah ingin bekerja di perusahaan seperti apa.
Bahkan, momentum hari selalu ditanyakan tentang rencana setelah lulus kuliah dan saya selalu menjawab pertanyaan keluarga besar dengan mengikuti perkataan teman-teman sebaya.
Bukan memang jawaban yang hadir dari perasaan jujur. Sehingga, saya merasa hidup bukan lagi mengikuti arus, namun terbawa aliran sungai yang semakin deras
Menemukan Panggilan Jiwa yang Tidak Disangka
Titik perubahan hidup saya muncul ketika di tengah kehilangan jati diri saya mendaftar di salah satu organisasi non-profit yang bergerak di bidang pendidikan. Percayalah, kala itu saya mendaftar karena kebetulan rekan-rekan terdekat berbondong-bondong mendaftar.
Niat awal mendaftar menjadi pengurus adalah ‘mempercantik’ resume agar baik dimata recruiter, justru mempertemukan dengan jawaban atas pertanyaan “apa tujuan hidup ini?”.
Menjadi bagian di organisasi tersebut membuat saya semakin sadar atas arti kehadiran manusia dalam sebuah relasi. Khususnya, manusia yang tidak hanya sekedar dilihat dari aspek pencapaian, namun juga perasaan.
Bertemu dengan Keluarga Baru
Organisasi non-profit pertama sekaligus menjadi tempat saya belajar untuk menjalin sebuah relasi kekeluargaan dan profesional hingga bagaimana menjaga hubungan dengan subjek pemberdayaan berhasil membuka mata dan hati.
Keterpaksaan menjadi keikhlasan adalah perjalanan batiniah pertama saya dengan organisasi tersebut sebelum pada akhirnya memutuskan untuk merintis organisasi sendiri.
2018 adalah awal mula saya berani untuk keluar dari zona nyaman versi publik. Di tengah gempuran informasi rekrutmen di perusahaan besar, saya justru lebih tertarik untuk meningkatkan kapasitas diri dalam bidang pendidikan dan sosial.
Seperti segalanya sudah terbentuk atas suratan takdir, setelah saya mengurutkan peristiwa hidup yang pernah terjadi. Ternyata, lingkaran kompetensi saya memang tidak jauh dari aspek pendidikan & sosial.
Pertama, sejak kecil saya terbiasa dengan dunia menulis dan wicara publik. Kedua, sejak dini hingga remaja saya tidak pernah absen untuk tidak dirayakan ulang tahun bersama anak-anak Yatim Piatu. Ketiga, saya senang sekali dengan anak-anak dan remaja dan selalu terlibat dalam kegiatan mengajar apapun bentuknya.
Saya namakan komunitas tersebut dengan sebutan Teman Berbagi.
Andaikan, saya lebih peka dari awal dalam menyelami makna, maka sesungguhnya banyak nilai esensial yang berlaku untuk berbagai peristiwa dalam hidup saya. Besar atau kecil. Lama atau sebentar. Susah atau gampang.
Maka dari itu, keterhubungan jalinan cerita hidup sejak kecil hingga saat ini memberikan suntikan keberanian untuk mendirikan Komunitas Teman Berbagi (2018) kemudian berlanjut menjadi Yayasan Teman Saling Berbagi (2020).
Meskipun, saya sangat menyadari bahwa ikhtiar merintis ini akan selalu berhadapan dengan tantangan. Dimulai dari tantangan berdamai dengan peristiwa menyakitkan di masa lalu, menurunkan ego, mencintai diri sendiri, hingga memimpin berbagai kalangan yang lintas usia hingga kepribadian.
Butuh Waktu untuk Meyakinkan Mereka dan Diri Sendiri bahwa Mimpiku Penting
Nyatanya, selama hidup diiringi dengan tekad yang konsisten serta persisten mampu mengarahkan pada jalan kebaikan yang tidak pernah disangka. Many people assume success requires a winner-takes-all approach.
Bahkan, selama hampir lebih dari empat tahun berlayar dengan mimpi ini. Saya selalu bertemu dengan beragam jenis tangisan. Dari keputusasaan hingga perpisahan. Bersamaan dengan kenyataan duka, saya juga dihadapkan dengan peristiwa suka.
Setelah saya kalkulasi dengan menggunakan akal manusia yang banyak batasnya. Saya sadar, suka memiliki porsi lebih besar daripada duka. Begitu Pula, sukses selalu lebih mewarnai pelayaran kehidupan dibandingkan kegagalan. Persepsi saya tentang kesuksesan dan kegagalan juga semakin matang.
Pertama, sukses tidak selalu harus pencapaian. Bisa jadi perasaan damai dan bahagia dengan apa yang dikerjakan. Kedua, kegagalan perlu dibatasi sudut pandangnya. Kita mungkin bisa gagal, namun sebatas sementara.
Di sisi lain, saya juga percaya penting untuk perempuan bahkan siapapun di dunia ini agar memusatkan hati untuk nilai kebermaknaan dan kebermanfaatan. Bahkan, hingga saat ini saya sering merasa bahwa kerap kali manusia perlu tersasar terlebih dahulu, setelah itu mampu menemukan sebaik-baiknya tempat untuk berlabuh.
Sejujurnya, berat sekali rasanya mengemban amanah sebagai Ketua Yayasan di usia muda serta ditambah persepsi sekitar terhadap perempuan. Orang tua saya pernah meragukan bahwa tidak mungkin anak tunggalnya yang terbiasa dengan privilese terbaik. Sekarang, mampu memimpin dan mendidik berbagai jenis kalangan.
Melebihi keraguan orang tua, saya sendiri di awal memutuskan jalan ini merasakan dua kali lipat lebih tidak meyakini kapasitas diri. Akan tetapi, seiring berjalan waktu saya mulai menyadari bahwa pada prinsipnya adalah orang lain bukan area kontrol kita.
Justru, manusia berdaya selalu diawali dengan memberikan respons yang santun dan patut diteladani. Bukan sibuk memikirkan hal-hal yang di luar kendali diri.
Tetap Melatih Kemampuan
Hingga sekarang, saya masih melatih kemampuan ini khususnya untuk fokus dengan momen saat ini dan tidak tergesa-gesa dengan hasil di tengah gempuran tuntutan sosial.
Hal yang paling terpenting dari upaya kebaikan ini adalah spirit mendidik yang tidak mendadak ini mampu menjadi terang bagi hati anak-anak di Panti Asuhan. Mereka yang mampu hidup bermasyarakat dan mampu memilih setiap keputusan dalam hidup atas dasar cinta.
Saya juga percaya bahwa keajaiban hidup masih banyak untuk dihadirkan bersama mimpi baik ini. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya mengandung mimpi hingga melahirkan 'dia' dengan modal keberanian.
Sejujurnya, saya juga bukan cenayang yang mampu memprediksi kedepannya akan bertumbuh sebagai sosok seperti apa dan bagaimana luasnya dampak Yayasan ini. Hanya saja, sukses adalah tentang keberlanjutan bukan titik akhir.
Konsisten yang dilakukan terus menerus tanpa terlalu banyak keluh-kesah sembari memanjatkan doa pada Tuhan. Setelah itu, manusia hanya perlu mengambil jeda untuk menikmati momentum sembari pelan tapi pasti menanti keajaiban yang sudah disiapkan. - Fatihah Fitria Mustari
Comments